Tidak ada satu jiwa pun yang hidup tanpa masalah. Karena hidup adalah dunia
tempatnya diri diuji dengan segala hal yang menyulitkan. Ketika kita berhasil
melewati dan menyelesaikan satu permasalah, itu bukanlah akhir, tapi adalah
awal dari kesulitan yang baru. Selama masih bernyawa, selama itu gelombang
ujian akan terus melanda. Karena Allah sudah menegaskan bahwa Allah akan terus
menguji untuk melihat siapa yang paling baik amalnya (QS. Al-Mulk : 2).
Dan terhadap ujian
dan permasalahan hidup, sudah fitrah manusia untuk mencari ketenangan dan
ketentraman hati. Banyak yang bersenang-senang untuk mencari ketenangan hati.
Namun yang perlu diingat bahwa tidak semua hal yang menyenangkan itu
menenangkan, bahkan boleh jadi kesenangan itu justru semakin menjadikan hidup
terasa sempit dan menyesakkan. Itulah segala kesenangan yang melalaikan dan
menjadikan diri lupa dengan-Nya.
Orang-orang yang
mencari kepuasan pada hal-hal yang yang melalaikan dari-Nya ibarat anak kecil
yang bersenang-senang dengan tanah dan lumpur. Ia merasa senang dengan apa yang
dapat mengotori diri, namun ia tak tahu bahwa itu akan mendatangkan keburukan
(penyakit) baginya. Maka tak bisa dijadikan pembenaran pendapat yang mengatakan
bahwa segala hal yang mendatangan kesenangan dan ketenangan adalah dibolehkan.
Bersenang-senang untuk melapangkan hati memang dianjurkan, tapi Allah
mengingatkan untuk mencari ketenangan yang lebih utama, yaitu ketenangan dengan
mengingat-Nya.
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS. ar Ra’d: 28)
Ketika sulit,
ingatlah bahwa Allah menjanjikan dua kemudahan dalam setiap kesulitan. Ketika
sakit, ingatlah bahwa Allah yang Maha Pengampun hendak memberi kita waktu untuk
lebih mendekatkan diri pada-Nya dan beristirahat dari kesibukan dunia. Ketika
lemah, ingatlah bahwa kita punya Allah yang Maha Kuat, yang Maha Kuasa. Ketika
lelah, ingatlah bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun usaha kita
(untuk kebaikan).
Ketika sedih, ingatlah bahwa Allah menjanjikan kegembiraan
bagi orang-orang beriman dan beramal shalih. Ketika banyak masalah, ingatlah
bahwa tidak ada yang lebih banyak dari rahmat dan karunia-Nya. Ketika
kehilangan, ingatlah bahwa Allah Pemilik Segalanya. Ketika mendapat musibah,
ingatlah bahwa itulah cara Allah dalam menyatakan cinta-Nya pada hamba-Nya.
Ketika gelisah, ingatlah pada Allah… karena hal itu akan menggantikannya dengan
rasa ketentraman kebahagiaan, dan kelapangan dalam hati.
Ayat ini merupakan
penegasan-Nya sekaligus peringatan-Nya. Allah mengingatkan pada orang-orang
beriman bahwa kunci ketenangan hati adalah dengan ingat kepada-Nya. Dan apabila
mengingat Allah adalah kunci ketenangan hati, maka melupakan-Nya (jauh
dari-Nya) adalah pangkal dari segala kegundahan, keresahan, dan kegelisahan.
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaha: 124)
***
Kunci ketenangan
hati adalah segala hal yang dapat mengingatkan kita kepada-Nya, dan kunci
ketentraman jiwa adalah segala hal yang mendekatkan kita pada-Nya.
Ibadah! Itulah
sebentuk perwujudan bahwa kita ingat pada-Nya. Ketenangan hati itu ada dalam
amalan-amalan kebaikan yang kita kerjakan. Ketenangan itu ada pada membaca
Alquran, mentadabburi makna, dalam sedekah, puasa, dzikir, membaca buku,
membicarakan/ menyampaikan kebaikan, dan shalat. Ya shalat sebagai tiang agama…
Ketenangan itu ada dalam rakaat yang kita kerjakan dengan penuh kepasrahan
total dan penuh ketunduhkan. Ketenangan itu adalah rakaat di mana kita keluar
dari pintu dunia dan mangetuk pintu-Nya untuk meluapkan segala perasaan.
Ketenangan itu adalah rakaat di mana kita menjatuhkan beban yang memberatkan
pundak dalam rukuk, dan kita melepaskan beban yang memberatkan kepala (pikiran)
dalam sujud. Itulah ketenangan…
Sabda Rasulullah
SAW,
“…dan telah dijadikan penghibur hatiku (kebahagiaanku) pada shalat”. (HR. an Nasa-i, Ahmad, dan dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani)
Sumber:
http://www.dakwatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar