Musim haji yang lalu, sahabat saya Imam, mendapat anugerah yang tidak terduga sebelumnya, yaitu memenuhi panggilan Allah melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci. Anugerah ini muncul tidak terlepas dari kedekatan dia pada seorang tokoh pemuda yang sekarang menjadi atasan dan pimpinan kantornya, sebut saja namanya Adhi. Sebelumnya Imam bertugas di kantor lain. Kepindahan dia ke kantor instansi pemerintah baru, karena promosi jabatan dan restrukturisasi pada instansi pemerintah.
Ketika itu dalam forum seminar, di mana yang menjadi pembicara adalah Adhi dan dirinya, dia di tanya,
“Pak Imam, sudah berangkat haji belum?”Pertanyaan itu bukan mengada-ada, atau iseng, atau basa-basi. Adhi melihat kapasitas keilmuan Imam sudah sangat memadai. Dari pembicaraan, sikap dan perilaku, dari ibadah dari dia lakukan, dan dari perhatiannya pada masalah-masalah yang selalu dikaitkan dengan sudut pandang Islam. Ditanya seperti itu, dia kikuk, tetapi terus terang menjawab,
“Belum, Pak.”
“Mau naik haji?”
“Kalau mau sih siapa yang ndak mau ke tanah suci, Pak!”
“Ya sudah, Pak Imam tahun ini saya tunjuk berangkat naik haji. ” Imam sahabat saya, tertegun dan seolah tidak percaya. Di tengah ketergunannya itu dia hanya bisa berucap Alhamdulillah berulang kali dan berterima kasih kepada Adhi, pimpinan kantornya, atas kepercayaan diberikan kepadanya.
Dalam hati Imam bergumam, apakah ini jawaban dari doa-doa yang saya panjatkan selama ini? Sungguh Allah maha pengabul segala doa. Pergi ke Baitullah telah menjadi keinginan dan cita-citanya sejak lama. Namun dia pendam kuat-kuat dalam lubuk hatinya. Dia sadar, kondisi ekonominya kurang memungkinkan. Berapalah tabungan yang bisa terkumpul dari gaji seorang pengabdi negara. Alih-alih menabung, untuk memenuhi keperluan anak-anak sekolah dan rumah tangga, dia harus bijak-bijak mengatur keuangan.
Namun Dia juga yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, memuliakan orang yang Dia kehendaki, dan menghinakan orang yang Dia kehendaki. Maka rasa rindu untuk ziarah ke Baitullah itu, dia tumpahkan dalam bait-bait doa selepas shalat fardhu dan qiyamullail.
Doa tersebut telah menjadi doa rutin, yang senantiasa terpanjatkan baik secara sadar maupun tidak sadar.
Secara keilmuan, Imam tidak asing dengan hal-hal yang berkait dengan manasik haji. Dia dulu pernah belajar di pesantren di daerah pinggiran Semarang, sebelum akhirnya melanjutkan kuliah di Universitas Diponegoro. Maka persiapan haji yang dia lakukan relatif ‘aman-aman saja’.
Singkat cerita, dia berhasil menunaikan ibadah haji dan umrah dengan baik dan memuaskan. Beberapa hari sebelum pulang ke tanah suci, di berziarah ke Masjid Nabawi di Madinah. Berkunjung ke Masjid Nabawi dan shalat di dalamnya adalah hal-hal yang disunnahkan sebelum atau setelah pelaksanaan ibadah haji dan umrah, karena shalat di dalamnya lebih baik seribu kali dari shalat di tempat lain kecuali di Masjidil Haram.
Yang menjadi sasaran utama peziarah Masjid Nabawi adalah sebuah ruang yang diberi nama ‘Raudhah’. Keutamaan Raudhah ini disampaikan langsung oleh Rasulullah, ”Di antara rumahku dan mimbarku adalah taman (Raudhah) dari taman-taman surga. Dan mimbarku di atas kolam. ” (Shahih Bukhari). Berdoa di Raudhah adalah mustajab.
Keyakinan inilah yang membuat jamaah haji dari berbagai negara yang berada di Madinah, berbondong-bondong menuju Masjid Nabawi sekaligus untuk dapat memanjatkan doa di Raudhah. Tapi Taman Surga yang terbatas itu hampir tak sebanding dengan ribuan jamaah yang ingin sekadar meletakkan dahi bersujud dan memanjatkan doa serta salam bagi Baginda yang Mulia. Perjuangan menuju Raudhah cukup berat, dibutuhkan kondisi prima, daya juang tinggi, stamina memadai, dan tak kalah penting adalah kesabaran. Sebab di tengah ‘jubelan’ dan desakan manusia, tidak boleh menyakiti orang. Baik dengan kata-kata kasar atau ‘bahasa tubuh’ yang menyakitkan.
Saat tiba di Masjid Nabawi, selepas menunaikan haji dan umrah, Imam seolah berada di dalam dua pusaran yang bersinggungan. Satu sisi dia ingin mencapai Raudhah dan berdoa di sana. Satu sisi lain, dia mengetahui bahwa berdesakan dan berebutan yang berakibat menyakiti orang, hukumnya haram. Dia, dan teman-teman satu khafilah, ragu dan merasa kecut. Rasanya berat untuk berdesak-desakan dan memaksakan diri ke sana. Teman satu khafilah, bernama Ummu Umair, bercakap dengan dia,
“Pak Imam, tolong doakan sahabat saya ini. Saya rasanya tidak sanggup ke sana.” Kata Ummu Umair, sambil menyerahkan secarik kertas bertuliskan sebuah nama.
“Oh ya. Ini Bu Aisyah siapa?” dia bertanya tentang sebuah nama yang tercantum pada secarik kertas. “Apa Bu Aisyahnya Pak Hariz?” Dia menyebut salah satu nama sahabatnya.
“Waduh, saya nggak tahu. Pokoknya ini sahabat dekat saya. Minta tolong didoakan”.
Aneh dalam pikiran Imam. Ummu Umair yang mengaku sahabat dekat Aisyah tetapi tidak mengetahui barang sedikit perihal suaminya.
“Tinggalnya di mana Ummi?” Imam bertanya lebih lanjut.
“Di Jatiwaringin, Pondok Gede”
Klop . Imam yakin, Aisyah yang dimaksud adalah istri dari sahabat yang dikenalnya. Tiba-tiba semangatnya bangkit. Ikatan ukhuwahnya mengencang. Dengan kesabaran yang dimiliki, dia coba menembus kerumunan massa yang berdesak-desakan. Tidak disangka, dengan cepat dia telah sampai di Raudhah. Subhanallah. Dia takjub dan penuh syukur. “Kekuatan apa yang menjadikan saya mudah melakukan ini?” Gumam hatinya penuh tanda tanya.
Ketika sampai di Raudhah, berbagai bayang keajaiban melintas dalam pikirannya secara berulang ulang. Pertemuan dengan tokoh yang hanya mungkin terjadi karena reformasi politik, doa yang terkabul tanpa diduga, dan kemudahan bertemu Raudhah. Rasanya Allah telah membukakan jalan-jalan bagi terkabulnya doa, yang berakibat dia berada di sini. Sekarang ini. Tak pelak lagi, dia merasa betapa besar perhatian Allah pada dirinya. Betapa kasih dan sayangnya Allah pada dirinya. Hatinya bergemuruh dan pecah. Air matanya berderai, tangis batinnya sesunggukan, dan suara pun terbata-bata menghiba.
Dia tertunduk, tertunduk serendah-rendahnya di hadapan Sang Maha Raja Diraja, di hamparan Raudhah sang Taman Surga. Bayangan dosa, kekhilafan, silih berganti muncul dengan bayang taman surga. Suaranya sayup, timbul-tenggelam dalam kekhusyukan doa.
Itulah kisah Imam yang rintihan doanya terkabul, karena Allah memberikan petunjuk pada dirinya sehingga terbuka jalan menuju keterkabulannya. Kisah ini juga mengisyaratkan tentang suatu hak yang harus ditunaikan. Yaitu hak ukhuwah.
Saya teringat kisah sahabat yang mendamba syahid di peperangan. Ketika ditanya rasul apa yang menjadi cita-citanya, dia jawab ‘syahid dalam peperangan’, maka rasul berkata ‘kamu pasti akan menemuinya, jika kamu jujur’. Terbukti kemudian, sahabat itu menemui syahidnya.
Doa yang jujur akan menemukan jalan bagi keterkabulannya. Kita berdoa agar diberi kesempatan pergi haji ke Baitullah, namun dari lubuk hati terdalam kita menginginkan rumah atau mobil atau hal lain yang lebih dominan dari itu. Pantaslah jika ‘keinginan kita’ tiada pernah terwujud. Kejujuran doa juga tercermin dalam perilaku keseharian. Jika Sang Hamba berdoa minta rezeki kecuali yang halal, tentu dia akan hati-hati langkahnya, mematuhi rambu-rambunya, sehingga diperoleh apa diimpikannya.
Maha Benar Allah yang berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. ” (2:186).
Dan ukhuwah, adalah penguat hati. Terkadang kita merasa lemah jika harus berjuang sendirian. Kehadiran ‘saudara’ atau kecintaan kepada saudara atau kecintaan untuk memperoleh kebaikan dan manfaat bersama, mampu menguatkan hati dan membangkitkan jiwa yang lemah.
Kisah-kisah sahabat di zaman Rasul mengajarkan, betapa keikhlasan yang melahirkan ukhuwah, membuka jalan bagi kemenangan dan takluknya kota Makkah (Fathu Makkah) di mana Rasul pernah bermimpi sebelumnya: ‘memasuki kota Makkah dengan aman dan tanpa hambatan’.
Waallahua’lam Bishshawaa
Sumber: dakwatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar