Bagian Ketiga dari 4 Tulisan]
Sebelumnya kami telah menyampaikan sanggahan mengenai bid’ah hasanah
yang dasarnya adalah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu
shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan beberapa alasan lain dalam
membela bid’ah dan jawabannya.
[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah
Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap
bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan
di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini
seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang
tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.
Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah
(‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat
larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
(sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.
Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni
tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara
non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah,
maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin
melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara
duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ
“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)
Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai
macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini,
itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam
bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah
secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.
[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil
bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit-
saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf
padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para
sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan
yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh
Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib
ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau
mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal
tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik
itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia,
Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab,
dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97)
mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an
adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa
mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu
Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan
menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan
syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam;
begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan;
dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum
muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan
mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah,
maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada
contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf
merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak
ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil
tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh,
hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan).
Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka
menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits.
Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat
suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim,
2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk
melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan
mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah
maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika
shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman
beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh
karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah
sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an.
Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat
itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi,
sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor
penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya
semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah
membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik
agar memahami bid’ah dengan benar-
[3] Yang Penting Kan Niatnya!
Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”
Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat
diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2]
harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia
melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul
ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan
banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat
sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar
karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan
mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”
[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…
Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami…”
Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu
ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki
argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka
hanya bisa beralasan,
إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)
Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu
hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum
syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun
ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi
yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada
tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau
keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah
mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu
tertentu tanpa dalil.
Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana
perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada
unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah
tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa
termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah
sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi
selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at
sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena
melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya
melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai
sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami
menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi
selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut
adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga,
dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala
kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa
melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya.
Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban
kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi
bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada
tuntunannya.
[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini
Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan
(atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia
bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”
Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil.
Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As
Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di
sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka
ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan
Rasul-Nya.
Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini
telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak
mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru.
Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang
berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan
maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian
negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi
dengan amalan sebagian kelompok?
Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu,
mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa
Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan
penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang
menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri
muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota
Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)
Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya
pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan
apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan
kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari
banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.
[6] Baca Al Qur’an kok dilarang?!
Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”
Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.
Bid’ah hakikiyah adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama
sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan
pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara
global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)
Di antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu
sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang
seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam
rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam
syari’at.
Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1]
dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan
[2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah
hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)
Jadi bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang
disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam
aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara
(kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Contohnya bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di
berbagai waktu secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu
yang masyru’ (disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara
semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi sunnah.
Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban
(pertengahan bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam
Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah
idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun
terdapat bid’ah
dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari
Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi.
Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil
adalah bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan
tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun,
yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya.
Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil
pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang
menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula
dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha
illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan
juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al
Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam
Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang
mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa
kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin
adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.
Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir
yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan
waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang
menunjukkan hal ini?
Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian.
Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih
berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian
kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke
jalan yang lurus.
***
Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
mengenal seluk beluk bid'ah 3
abataforkids.com
●
Jumat, 04 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search this blog
hubungi kami
admin : fery sumanto
kontak :
telp. 0821-4566-2249 (simpati)
whats app : 0821-3566-2249
alamat: pelemsewu rt03 panggungharjo sewon bantul yogyakarta indonesia
Category List
- artikel Islam (59)
- artikel lepas (29)
- artikel pernikahan (21)
- artikel remaja (45)
- berita (1)
- bibit anggur (1)
- bibit bidara (1)
- bibit durian (1)
- bibit jambu (1)
- bibit kelengkeng (1)
- bibit kelor (1)
- bibit mangga (1)
- bibit matoa (1)
- bibit putsa apel india (1)
- bibit sirsak (1)
- bibit tin (1)
- bibit zaitun (1)
- buku (3)
- buletin (12)
- catering bantul jogja (5)
- download (2)
- forum tanya-jawab (41)
- grosir emping melinjo (1)
- grosir lem kayu bubuk (1)
- herbal (4)
- jasa konveksi (7)
- jilbab bahan kaos (1)
- jual bibit alpukat (1)
- JUAL BIBIT TANAMAN (3)
- jual hot plate steak (1)
- kayu batik asli alami (1)
- laa tahzan (4)
- penjualan bibit ikan (11)
- penjualan hewan kurban (1)
- Plafon PVC gybsum jogja bantul sleman (17)
- pohon kaktus (2)
- produk islam (1)
- ROLLINGDOOR JOGJA (17)
- salim A fillah (4)
- SEPATU RAJUT (1)
- Service rolling door folding gate etalase pagar pintu aluminium kaca gerobak (109)
- supplier kebutuhan laundry (3)
Popular Posts
-
Bagi temen yang bingung membuat biodata taaruf silahkan copy paste biodata di bawah ini dan mengganti sesuai biodata masing-masing. Biodat...
-
Jual grosir/distributor pewangi perlengkapan/kebutuhan laundry di seluruh indonesia Dengan mengharap Ridho Allah subhanahu wata’ala kami “...
-
Menyempurnakan agama “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan tentang agamanya. Karenanya, bertakwalah pa...
-
jual grosir emping melinjo murah dan bersahabat melayani pengiriman ke seluruh indonesia assalamualaikum wr.wb…Dengan mengharap Ridho A...
-
jasa konveksi-jual kaos polos murah melayani pengiriman ke seluruh indonesia Rp.13.000,- bahan PE Rp.21.000,- bahan cotton carde t Rp.2...
buku tamu
Translate
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar