[Bagian Kedua dari 4 Tulisan]
Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan
oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu
sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab
sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang
menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu
marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki
pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ
الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat
yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat
hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا
كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap
mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi.
Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib
berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan
petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi
geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena
setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً،
وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen),
janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.
Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang
bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji
yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah
(secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan
ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala
sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah
paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik
(bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk
sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu
Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka
membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik
(bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang
telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa
bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca
sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat
mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan
(dalam agama, pen)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap
kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara
yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits
yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits
tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai
dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh
karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah
yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat
ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian
orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat
orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir,
bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ
حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ
هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم-
مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ،
وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى
مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit
pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian,
wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi
kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari
agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan
(bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ
الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai
bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik
(hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia
bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan
selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah
pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih
bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari
perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara
bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih
umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada
contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah
beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak
dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah
secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah
(sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan
Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun
yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara
bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama
baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang
baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan
bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh
mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan
dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang
menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan
mengerjakan shalat tarawih
terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa
untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada
dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin.
Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin
memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al
Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan
benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap
perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah)
adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits
‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap
dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman
Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di
generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak
sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan
apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di
tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah
namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya
kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita
hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa
menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun
perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik
(hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana
bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an.
Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ
نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman
dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai
dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk
berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 36)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan
kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan
oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang
tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di
masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).
Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
- Tidak dilakukan terus menerus.
- Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
- Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
- Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
0 komentar:
Posting Komentar