Perjalanan hidup ini bukanlah perjalanan yang mudah untuk dilalui. Semua orang dewasa. Akan mengalami fase-fase dalam kehidupannya. Mulai dari balita, anak –anak, remaja dewasa hingga renta (jika Allah memanjangkan usianya).
Dan setiap langkah perjalanan hidup, ada masa-masa sulit di mana masa pubertas menjadi masa yang sulit untuk dilalui. Tak terkecuali Yola. Seorang mahasiswi semester 1 di suatu perguruan tinggi negeri di Bandung.
Saat remaja yang lain sibuk dengan hura-hura, senang-senang, jalan-jalan yang menghabiskan masa remajanya. Justru Yola menjalani rutinitas yang berbeda. Kampus menjadi tujuan pertamanya, selain itu kegiatan-kegiatan yang mendukung dalam menambah ilmu, ia jalani dengan sabar dan ikhlas. Ini semua dilakukan semata-mata demi tujuan hidup yang sebenarnya. Bukankah Allah sudah mengatakan “tidak aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada ku.”
Satu kejadian yang pernah diceritakan kepadaku beberapa hari yang lalu. Ketika ia duduk di kelas bersama teman-teman. Seorang laki-laki yang selama ini ia kenal baik perilakunya, baik bicaranya, tiba-tiba mengatakan kalau ia ‘sayang’ kepada Yola. Ia berjanji, nanti ia akan menjadikan Yola sebagai pendamping hidupnya. Dan untuk saat ini, si laki-laki ingin mengenali Yola lebih dekat.
Agar nantinya setelah ia yakin dengan perasaannya, dan tepat waktunya (sudah punya penghasilan yang cukup untuk membiayai keluarga, sudah selesai kuliah, sudah siap mental dan banyak lagi sudah-sudah yang lainnya) ia bisa datang untuk melamar Yola.
Aku menghela nafas sejenak menunggu cerita selanjutnya. Mencoba menebak apa jawaban dari hasil ‘gombalan’ si laki-laki. Ia melanjutkan cerita dengan ekspresi wajah sedih. Tidak seperti remaja lainnya. Berbunga-bunga dan bahagia ketika ada yang mengatakan cinta. Yola mencoba menguasai emosi agar tidak larut dengan perasaannya.
Ia menangis, bukan karena bahagia. Bukan karena tidak suka ada yang mencintainya. Hanya saja dia merasa kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri. Apa yang salah dengan dirinya, hingga perilakunya menimbulkan fitnah untuk si laki-laki. Hingga berani mengutarakan rasa yang belum saatnya.
Dia tidak habis pikir, apakah si laki-laki itu tidak memikirkan apa konsekuensi yang akan terjadi setelah ia mengatakan rasa yang ia katakan itu adalah cinta. Bukan rasa cinta itu yang salah, tapi momen nya yang belum tepat. Belum saatnya. Jika memang ia merasa sayang dan mampu. Mengapa tidak temui saja orang tua ku, ucap Yola. Dan katakan yang sebenarnya. Agar cinta itu bukan hanya di kata.
Tetapi cinta itu tampak ketika sudah ada komitmen. Jika belum ‘mampu’, berpuasalah dan berdoalah. Semoga Allah mempertemukan dengan jodoh yang shalih/shalihah. Tidak mudah memang, tapi seperti itulah adanya.
Ketika cinta, ya harus berani untuk berkomitmen. Bukan mengumbar rasa yang tidak jelas ujungnya. Yang tidak pasti kelanjutannya. Dan aku menyambut akhir cerita nya dengan senyum termanis. Merasa semakin mencintai sahabat karibku. Begitu dewasanya ia, begitu bijaknya ia di usianya yang masih remaja.
Cinta
Cinta itu harusnya menginspirasi
Cinta itu harus menghidupkan
Cinta itu harusnya menguatkan
Cinta itu …..
Cinta itu harusnya menginspirasi
Cinta itu harus menghidupkan
Cinta itu harusnya menguatkan
Cinta itu …..
Yach… selalu sulit mengungkapkan makna cinta sebenarnya. Hanya yang sedang mencintailah yang mampu mengungkapkannya. Walaupun terkadang ungkapan yang dilontarkan dan diekspresikan berlebihan. Sehingga membuat berkurang nya esensi cinta yang sebenarnya. Seperti kalimat seorang penulis, “cinta itu jangan sering diumbar, karena ia akan menjadi hambar” (Tere Liye).
Banyak sekali kita jumpai remaja yang katanya sedang ‘dimabuk’ cinta. Jangankan yang sudah beranjak dewasa. Anak- anak tingkatan sekolah dasar pun mulai memasuki masa yang sebenarnya mereka belum pantas mengatakan cinta…
ketika berteman, atau bertemu dengan lawan jenis, kemudian dekat dan tertarik karena kekaguman seseorang. Mereka dengan mudah mengatakan bahwa mereka sedang jatuh cinta.
Semoga bermanfaat, wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar