Dulu, semasa saya SMP, saya adalah anak yang bandel. Bayangkan saat
ibu sudah selesai mencuci dan menyetrika baju, tumpukan baju yang sudah
rapi, sengaja saya kencingi, berharap perhatian dari ibu. Tidak cukup
itu, kue-kue jajanan yang sudah ibu masak untuk dijual, sengaja saya
tumpahkan ke lantai dan berantakan.
Apa yang dilakukan oleh ibuku? Ibu menatapku dengan tatapan lembut,
menasihatiku untuk tidak mengulang perbuatan itu lagi, kemudian mencuci
kembali pakaian-pakaian tersebut dan menata kembali kue-kue yang
berserakan. Sungguh tidak ada nada emosi dan kemarahan pada raut wajah
ibu.
Sikap ibu yang demikian, kemampuan pengendalian emosi, mendidik
anak dengan kasih sayang, baru saya rasakan hikmahnya setelah saya
menghadapi kenyataan hidup yang makin kompleks, saat saya kuliah di
Jerman. “Saya dituntut untuk menghadapi berbagai macam persoalan
kehidupan, yang membutuhkan kemampuan manajemen emosi. Kini setelah
dewasa dan memiliki anak, saya menerapkan sikap seperti apa yang
dicontohkan oleh ibu, mendidik dengan kelembutan.”
Kurang lebih demikian, isi dari tulisan yang saya baca dari sebuah
foto copian buku yang disodorkan oleh teman, yang memuat perjalanan
hidup/kisah nyata seorang. Pengalaman, perjalanan kehidupan, dan contoh
nyata, dalam dunia pendidikan, adalah metode yang paling efektif untuk
menanamkan nilai dan akhlak. Dampaknya akan mudah dirasakan, pengaruhnya
langsung, dan pelajarannya akan tetap membekas di dalam jiwa.
Sebagai orang tua boleh saja kita menasihati anak-anak kita dengan
seribu kali nasihat untuk bisa bersikap ramah dan suka tersenyum
misalnya, tapi tanpa contoh nyata kita yang juga harus bersikap ramah
dan suka tersenyum, sudah bisa dipastikan anak-anak tidak pernah bisa
bersikap ramah dan suka tersenyum. Alih-alih ingin anak tersenyum,
karena kita menasihatinya dengan kemarahan, yang terjadi malah anak kita
gampang menjadi pemarah.
Satu kali contoh nyata, lebih efektif dari pada seratus kali
nasihat yang diumbar. Jangan pernah berharap anak kita akan rajin
membaca, kalau kita sebagai orang tua malas membaca. Jangan pernah
berharap anak kita pemaaf, kalau kita sebagai orangtua bersikap
pendendam. Jangan pernah berharap anak kita menjadi orang yang pemurah,
kalau kita sebagai orang tua yang pelit. Semua akan menjadi harapan yang
kosong dan menyakitkan. Inilah salah satu alasan yang cukup relevan,
untuk menjelaskan makna ayat “Laqad kaana lakum fii Rasulillahi uswatun
hasanah….” (QS Al Ahzab 21).
Allah SWT mengutus Rasulullah SAW sebagai ‘Tauladan’, ‘contoh’,
atau ‘model’ bagi umat manusia, untuk merealisasikan apa-apa yang
diharapkan /diinginkan oleh Allah SWT terhadap hambaNYA. Manusia akan
sangat dimudahkan untuk mengamalkan semua perintah Allah SWT, karena
telah diberikan contoh nyata oleh sang Nabi, Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan kata lain ada proses modelling yang diperankan oleh beliau.
Sejatinya, manusia akan sulit menerima suatu nasihat yang datang
dari seseorang yang tidak menerapkan apa yang dia nasihatkan. Meski bagi
penerima nasihat, seringkali harus mengingat kata hikmah “lihatlah apa
isi nasihatnya, jangan melihat siapa yang menasihatiku”. Bagi pemberi
nasihat, mestinya juga selalu mengingat firman Allah SWT “kaburo maktan indaLLAHi an taquluu malaa ta’maluun” (Amat besar kebencian di sisi Allah, manakala engkau menasihatkan/mengatakan sesuatu apa-apa yang tidak engkau kerjakan).
Dalam kaitannya dengan cuplikan kisah nyata di awal tulisan ini,
ternyata memang sang anak, ketika saat ini sudah menjadi seorang
pimpinan di sebuah perusahaan, semua anak buahnya selalu kagum dan
memuji sifatnya yang tidak pernah bersikap dan berkata kasar kepada anak
buahnya. Selalu santun dan bijak, dan hal ini yang telah menjadikan
semua anak buahnya makin menghormati dirinya. Bahkan seringkali para
anak buah/karyawannya dibuat makin tercengang dan kagum, setiap kali
menyaksikan atau mendengar percakapan “sang pimpinan” dengan
anak-anaknya, baik secara langsung ataupun saat menelepon.
Kini anak-anaknya pun telah tumbuh menjadi anak-anak yang bersikap
bijaksana dan lembut, penuh sopan santun dan selalu tenang dalam
menghadapi berbagai permasalahan, baik di dunia kampus, pergaulan dengan
teman-temannya, atau saat berkumpul dengan keluarga besarnya. Nasihat
dari ibunya yang selalu diingat adalah: “Buatlah dirimu bermanfaat untuk
dirimu sendiri, karena otomatis kamu akan bermanfaat untuk orang lain.
Lakukan segala sesuatu secara maksimal yang terbaik dari kemampuan yang
kamu punya, dan selalu berbuat baik karena berbuat baik itu sebenarnya
untuk dirimu sendiri.”
Jadi saat kita melakukan kebaikan bagi orang lain, sesungguhnya hal
itu adalah kebaikan untuk diri kita sendiri. Ayo kita buktikan!
Mulailah saat ini juga, mulailah dari apa yang kita mampu, mulailah dari
hal yang kecil, mulailah dari yang terdekat dengan kita, dan mulailah
serta jangan menunda kebaikan, karena pasti kita akan menyesal. (AR)
sumber:sahabatdarihati.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar