Tugas Rumah Tangga antara Suami dan Istri
Pertanyaan:Assalamu’alaikum
Ustadz, awal bulan Oktober, saudara saya (laki-laki) baru saja melangsungkan pernikahan. Sebelum pernikahan, tidak ada kesepakatan tentang pembagian tugas rumah tangga. Namun setelah mereka hidup bersama (-+ seminggu), sang istri meminta adanya pembagian tugas rumah tangga yang jelas.
Pada awalnya sang suami telah berusaha membantu sesuai dengan kemampuannya, tapi setelah menjalaninya, dia merasa keberatan karena kondisinya yang capek setelah bekerja dsb. Sempat juga sang suami mempersilahkan istri tinggal di rumah dan berhenti bekerja, tapi istri menolak, karena khawatir dengan masa depan anak-anaknya kelak yang mungkin memerlukan biaya tinggi untuk pendidikan.
Sebagai informasi, suami istri tersebut bekerja di tempat yang sama. Sang istri menginginkan pembagian tugas rumah tangga, salah satunya bersandar ke dalil dibawah ini:
“Adat bukanlah syariah dan syariah bukalah adat.”
Para suami dilarang terkejut!
Mari kita renungkan hal berikut wahai para suami, lalu kita introspeksi dengan sikap kita selama ini kepada istri kita:
- Harta istri: bukan harta suami
- Harta suami: sebagiannya adalah hak istri
- istri berhak menetapkan nilai mahar
- nafkah adalah kewajiban suami bukan kewajiban istri
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ : 34)
Apa kata para ulama mazhab dalam masalah ini ?
1. Madzhab Hanafi
“Seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, namun istrinya enggan memasak atau mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap.” (Imam al-Kasani dalam kitab al-Badai‘).
2. Mazhab Maliki
- Wajib atas suami melayani istrinya walau istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat.
- Bila suami tidak pandai memberikan pelayanan, maka wajib baginya untuk menyediakan pembantu buat istrinya (asy-Syarhul Kabir oleh ad-Dardiri)
3. Mazhab Syafi’i
- Tidak wajib bagi istri membuat roti, memasak, mencuci, dan bentuk khidmat lainnya untuk suaminya.
- Karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban (al-Muhadzdzab oleh asy-Syairozi)
4. Mazhab Hanbali
- Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur.
- Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Dan pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya (Imam Ahmad bin Hanbal).
5. Mazhab Dzahiri
- Tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak, dan khidmat lain yang sejenisnya, walaupun suaminya anak khalifah.
- Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam.
- Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur (al Muhalla oleh Ibnul Hazm).
1. Apakah hal tersebut bisa dijadikan dalil?
Mohon nasihatnya.
Syukron, jazakumullahu khairan
Wassalamu’alaikum warahmatullah.
Dari: Margee
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Pendapat mayoritas ulama dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, istri wajib melakukan tugas-tugas rumah sebatas kemampuan dirinya. Istri wajib menaati suami, jika suami memerintahkan istri untuk berhenti kerja, maka istri shalihah pasti langsung berhenti kerja.
Isteri wajib taat kepada suami asalkan perintah suami bukan maksiat. Jika suami memerintahkan istri untuk masak misalnya dan istri mampu untuk masak karena dalam kondisi sehat, maka memasak dalam hal ini adalah kewajiban yang membuahkan dosa jika tidak dijalankan.
Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Ustadz, awal bulan Oktober, saudara saya (laki-laki) baru saja melangsungkan pernikahan. Sebelum pernikahan, tidak ada kesepakatan tentang pembagian tugas rumah tangga. Namun setelah mereka hidup bersama (-+ seminggu), sang istri meminta adanya pembagian tugas rumah tangga yang jelas.
Pada awalnya sang suami telah berusaha membantu sesuai dengan kemampuannya, tapi setelah menjalaninya, dia merasa keberatan karena kondisinya yang capek setelah bekerja dsb. Sempat juga sang suami mempersilahkan istri tinggal di rumah dan berhenti bekerja, tapi istri menolak, karena khawatir dengan masa depan anak-anaknya kelak yang mungkin memerlukan biaya tinggi untuk pendidikan.
Sebagai informasi, suami istri tersebut bekerja di tempat yang sama. Sang istri menginginkan pembagian tugas rumah tangga, salah satunya bersandar ke dalil dibawah ini:
“Adat bukanlah syariah dan syariah bukalah adat.”
Para suami dilarang terkejut!
Mari kita renungkan hal berikut wahai para suami, lalu kita introspeksi dengan sikap kita selama ini kepada istri kita:
- Harta istri: bukan harta suami
- Harta suami: sebagiannya adalah hak istri
- istri berhak menetapkan nilai mahar
- nafkah adalah kewajiban suami bukan kewajiban istri
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ : 34)
Apa kata para ulama mazhab dalam masalah ini ?
1. Madzhab Hanafi
“Seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, namun istrinya enggan memasak atau mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap.” (Imam al-Kasani dalam kitab al-Badai‘).
2. Mazhab Maliki
- Wajib atas suami melayani istrinya walau istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat.
- Bila suami tidak pandai memberikan pelayanan, maka wajib baginya untuk menyediakan pembantu buat istrinya (asy-Syarhul Kabir oleh ad-Dardiri)
3. Mazhab Syafi’i
- Tidak wajib bagi istri membuat roti, memasak, mencuci, dan bentuk khidmat lainnya untuk suaminya.
- Karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban (al-Muhadzdzab oleh asy-Syairozi)
4. Mazhab Hanbali
- Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur.
- Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Dan pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya (Imam Ahmad bin Hanbal).
5. Mazhab Dzahiri
- Tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak, dan khidmat lain yang sejenisnya, walaupun suaminya anak khalifah.
- Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam.
- Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur (al Muhalla oleh Ibnul Hazm).
1. Apakah hal tersebut bisa dijadikan dalil?
Mohon nasihatnya.
Syukron, jazakumullahu khairan
Wassalamu’alaikum warahmatullah.
Dari: Margee
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Pendapat mayoritas ulama dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, istri wajib melakukan tugas-tugas rumah sebatas kemampuan dirinya. Istri wajib menaati suami, jika suami memerintahkan istri untuk berhenti kerja, maka istri shalihah pasti langsung berhenti kerja.
Isteri wajib taat kepada suami asalkan perintah suami bukan maksiat. Jika suami memerintahkan istri untuk masak misalnya dan istri mampu untuk masak karena dalam kondisi sehat, maka memasak dalam hal ini adalah kewajiban yang membuahkan dosa jika tidak dijalankan.
Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar