dakwatuna.com - Maha Suci Allah, Dia lah Yang Maha
Agung, Pengasih dan Penyayang. Yang menurunkan perintah shalat kepada
para mukmin, yang mana shalat itu memiliki kandungan makna yang sangat
luas, tak kan mampu manusia mengurai semua hikmah kebaikannya.
Ini
hanyalah sepercik makna dari samudera hikmah shalat yang mampu
ditangkap, dan hanya Allah SWT jua yang mengetahui hakikat kebenarannya.
Shalawat dan salam dari Allah Azza wa Jalla semoga tercurah kepada
Baginda Nabi yang telah memberikan teladan tentang shalat kepada kita
umatnya.
Shalat sesungguhnya fasilitas luar biasa yang disediakan
bagi manusia, sebagai ‘ruangan’ suci dan terhormat di mana seorang hamba
diizinkan masuk berkomunikasi ‘empat mata’ dengan Penguasa Langit dan
Bumi.
Shalat adalah media komunikasi yang sah atas dasar
panggilanNya kepada manusia untuk menghadapNya di bagian-bagian tertentu
dari 24 jam yang dianugerahkan. Hal ini sebagai bentuk pengorbanan
waktu, tenaga, dan pikiran kepadaNya, sebagai wujud rasa syukur atas
nikmatNya yang besar.
Shalat adalah perintah Tuhan kepada manusia
agar sama tunduknya dengan tunduknya alam semesta. Hal ini agar manusia
tidak mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan alam yang patuh
kepada perintah Tuhannya, yang kekuatannya luar biasa, kekuatan yang
sangat halus hingga yang sangat besar. Tuhan pun banyak menghadirkan
unsur alam dalam memberikan perintah shalat kepada manusia, misalnya
shalat pada posisi tertentu matahari terhadap manusia, berwudhu
menggunakan air atau debu. Shalat berarti meleburkan diri ke dalam
kesatuan alam semesta yang senantiasa bertauhid kepadaNya.
Dengan
shalat yang benar, seorang hamba menjalin hubungan yang baik kepada
Penciptanya sehingga wajarlah apabila ia mendapatkan perhatian yang
lebih dari sebelumnya, pertolongan yang lebih, petunjuk yang lebih,
kasih sayang yang lebih, kesadaran yang lebih, kecintaan kepadaNya yang
lebih, dan berbagai kemuliaan diri lainnya.
***
Shalat
mengandung ucapan dan gerakan ketertundukan sekaligus doa sesuai
bimbinganNya. Doa dalam shalat di antaranya terdapat pada bacaan Al
Fatihah:
Warhamnii (sayangi aku)
Wajburnii (tutupi aib-aibku)
Warfa’nii (angkat derajatku)
Warzuqnii (beri aku rizki)
Wahdinii (beri aku petunjuk)
Wa’afinii (sehatkan aku)
Wa’fuani (maafkan aku).
Maka tersirat suatu nalar yang sungguh indah: apabila Allah membimbing manusia untuk melantunkan doa tersebut, mana mungkin Allah tidak mengabulkan?
***
Shalat bagaikan lift di padang pengembaraan, dan lift itu menjulang ke langit. Dunia ini sejatinya adalah tempat berkelananya manusia yang diciptakanNya, yang kelak pasti akan kembali menghadapNya. Sebuah perjalanan sejati manusia, di mana semuanya dari Allah dan akan kembali lagi kepada Allah, dan Dia menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepadaNya sehingga sepantasnya manusia melakukan pengembaraan dengan niatan pengabdian kepadaNya. Sebagai lift, manusia yang masuk ke lift itu akan terhubung lagi ke langit untuk mendapatkan pencerahan dan kesadaran dirinya secara utuh.
Shalat bagaikan berada dalam ruang singgasana Raja Alam Semesta. Yaitu Raja yang penuh kasih sayang dan kekuatan, yang pasti menyayangi dan melindungi siapapun yang ikhlas tunduk pada hukumnya yang sempurna, sekaligus sebagai Raja yang telah dan akan terus mengalahkan siapapun yang menentang hukumnya. Peperangannya terus ada di mana saja dan kapan saja, sedangkan kemenanganNya terus menerus terbuktikan.
Kekalahan dari siapapun yang tidak mau tunduk itu berwujud ketidak-tenteraman, ketakutan, ketidakpuasan, kehampaan, kesedihan, kehinaan, keraguan, dan berbagai bentuk ketidak-bahagiaan di dunia, terlebih lagi di akhirat.
Sedangkan manusia yang bershalat dengan tubuh dan jiwanya, Dia akan menurunkan ke dalam hatinya ketenangan, keberanian, pikiran yang jernih, keyakinan yang benar, dan semua bentuk kebahagiaan hati.
Shalat adalah ruang temu antara dunia materi kepada Allah yang Maha Ghaib. Pertemuan ini selaras dengan keadaan manusia yang di dirinya bersemayam ruh yang ghaib. Karenanya, shalat akan menguatkan sifat Ruhiyah yang turut membentuk eksistensi manusia. Shalat bagi kita yang awam ibarat oase di padang pasir, di mana ruh mendapatkan ‘istana’nya ketika keadaan di luar shalat seringkali menistakannya dengan kesibukan urusan materi. Dalam shalat itu manusia melepaskan urusan duniawi, semata-mata menghadapkan wajah dan pikirannya kepada Yang menguasai ruh, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
***
Dalam shalat, manusia meng-kecil-kan arti dunia sekaligus meng-Agung-kan KebesaranNya, menempatkan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dalam shalat, manusia menitipkan semua masalah duniawi kepadaNya, karena Allah lah sebaik-baik pengatur segala urusan. Karena itu, pikiran hanya bersandar kepadaNya sembari mengharap pertolongan dan kasih sayang-Nya, selebihnya adalah kepasrahan dan keyakinan bahwa urusan duniawi yang ditinggalkan tak akan menjadi kemudharatan, justru sebaliknya karena Dia tak akan pernah merugikan hambaNya.
Dengan menyadari makna yang terkandung dalam shalat dan semua kebaikan yang tak mampu kita pahami semuanya, shalat seharusnya menjadi saat-saat favorit kita. Dikerjakan dengan penuh kenikmatan, kenyamanan, kelembutan, kemesraan, pengharapan, dan ketundukan.
Shalat itu seharusnya menjadi sesuatu yang mudah untuk meraih nilai-nilainya, karena Allah menghendaki kemudahan bagi hambanya. Menjalani shalat hanyalah meyakini bahwa kita sedang menghadapkan diri kepada Allah, lalu melakukan setiap gerakan dan bacaan dengan sepenuh hati dan pikiran. Untuk itu kita harus mengerti setiap kata dalam shalat (yang terdiri dari sedikit bacaan saja), lalu mempelajari kandungan makna agar bisa menghayatinya.
Dibanding ahli ibadah, kita mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama dalam shalat untuk menghayati setiap bacaan yang belum begitu kita kuasai.
***
Menangis di dalam shalat adalah sebagian akibat dari kekhusyukan ketika membayangkan kebesaranNya, mengharap dalam doa atau menghayati ayat-ayat tertentu. Karena pada dasarnya setiap manusia itu lemah di hadapan Sang Khaliq, bagaikan sebutir debu di padang pasir. Tangisan yang Allah puji adalah tangisan keimanan yang ditujukan benar-benar untukNya, di antaranya penyesalan hamba atas perbuatan di masa lalu yang tidak mengikuti petunjukNya.
Namun terhadap suatu masalah atau urusan dunia, Allah tidak menginginkan hambanya larut dalam kesedihan saat melakukan shalat. Hamba Allah seharusnya kuat dan tegar dalam menghadapi masalah dunia yang sesungguhnya sangat kecil jika dibandingkan kekuasaan dan kemurahanNya, karena itu hamba yang melakukan shalat seharusnya melupakan segala bentuk urusan dunia untuk menuju kebesaran Tuhannya.
***
Ketika shalat dengan benar, kita mendapat keridhaan, kasih sayang dan ampunanNya. Sekaligus juga kita mendapat kekuatan, ketenangan, kesabaran, pencerahan, petunjuk/ jalan keluar, sikap mental positif lain dan terapi kesehatan sebagai bekal yang sangat kuat dalam menghadapi hidup. Selepas shalat, sudah tidak ada lagi kesedihan, kegalauan, ketakutan, kelemahan, kecengengan menghadapi liku-liku hidup. Allah juga yang akan menuntun langkah kita menghadapi semua urusan sehingga berujung pada sesuatu yang terbaik.
Shalat yang nikmat sebagai awal kedekatan hubungan pribadi kita dengan Allah, untuk selanjutnya beramaliah di kehidupan sehari-hari mengikuti ajaran yang diperintahkan dan meninggalkan laranganNya. Yaitu ajaran dan larangan baik itu yang menyangkut hubungan kepada Allah, maupun yang menyangkut hubungan kepada sesama dan lingkungan. Pemenuhan kedua jenis hubungan itu tidak bisa dipisahkan, sebagaimana ruh dan jasad ini menyatu dalam menjalani hidup.
Semoga kita tidak termasuk dalam sindiran Allah dalam Al-Qur’an sebagai generasi yang menyia-nyiakan shalat, karena banyaknya manfaat yang terdapat dalam shalat.
**
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (Maryam: 59)
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar