Aku, Menjadi Intan
Oleh: Khaulah Naqiyyah Farhana“Eh, enggak, nanti kamu ada acara enggak hari Minggu ini? Rencananya aku dan beberapa teman akan mengadakan pertemuan halaqah gabungan gitu di fakultas, dan mengajak para remaja lainnya… bagaimana?”
Kulihat dari matanya, ada sedikit keragu-raguan dari cara pandang yang sayu itu. Matanya memang terlihat seperti itu sejak aku mengenalnya. Bukan, bukan sayu yang sebenarnya, melainkan seperti ada sesuatu yang amat lembut yang memancar dari cara dia menatap. Entah, belum pernah aku lihat cara pandang mata yang seperti itu dari teman-temanku yang lain.
“Ehm, hari Minggu yah? Sepertinya enggak ada acara deh, halaqah? Itu acara apa yah?” tanyaku yang baru pertama kali mendengar kata “halaqah”.
“Hm, halaqah itu suatu perkumpulan remaja muslim, biasanya dibina oleh murabbi yang sudah biasa menjadi musyrif di kelompok-kelompok halaqah lainnya…”
“Aduhh, aku makin enggak ngerti deh kamu ngomong apa barusan? Musyrik? Bukannya itu orang kafir yah?” pertanyaanku semakin ngawur bersamaan dengan banyaknya kosakata baru yang tadi kudengar dari Nabila.
Ia tersenyum menanggapi pertanyaanku yang mungkin serasa lucu didengarnya.
“Insya Allah kamu akan tahu apa itu halaqah saat kamu menghadiri acaranya hari minggu, datang ya… afwan, aku duluan, sudah azan…” sudah Ashar rupanya. Dia melambaikan tangannya mengajak aku ikut ke masjid kampus, senyumnya pun belum juga lepas dari wajah manisnya itu, telunjukku refleks membalas menunjuk ke laptop yang sedang aku pakai dan jam tanganku. Sibuk, itu maksud isyarat tanganku. Aku akan shalat, tapi bukan sekarang.
Nabila adalah temanku satu jurusan di fakultas. Kebetulan kami teman sekelas. Nabila adalah seorang aktivis dakwah di salah satu organisasi kampus. Namanya sudah tidak asing lagi di fakultas, karena eksistensinya di kalangan mahasiswa yang dapat mengobarkan semangat berjihad. Itu menurut temanku.
Aku sendiri baru mengenalnya beberapa minggu lalu. Awalnya aku pun tidak tertarik untuk mengetahui tentangnya, namun ternyata takdir mempertemukanku. Ibuku merupakan teman satu kuliah dengan ibunya Nabila. Tiga minggu yang lalu, ibu secara tidak sengaja bertemu dengan bu Ratna, nama ibu Nabila. Mau tak mau, aku pun mengenalnya.
Meskipun saling kenal, kami tak pernah sekalipun saling sapa. Aku agak risih juga jika bersama orang yang sangat fanatik tentang Islam. Kebanyakan dari temanku yang fanatik itu, berani dengan angkuhnya mengekslusifkan diri. Merasa sudah benar menjadi manusia yang taat, padahal minum saja terkadang masih berdiri.
Akhirnya hari Minggu mendatangiku. Aku izin ke ibu. Kukatakan yang sebenarnya. Entah sebab apa, ibu terlihat senang sekali saat aku bilang akan menghadiri perkumpulan halaqah. Ternyata ibu selama ini memang menghadapkanku untuk mengikuti kegiatan tersebut. Siapa yang tahu, jika ibu tidak pernah mengatakan?
Aku diantar oleh bang Sabiq, kakakku satu-satunya. Enak juga punya kakak yang bisa diandalkan, pikirku. Abang sabiq mengantarkanku sampai ke depan gerbang kampus. Aku sedikit terburu-buru sesaat setelah pamit dan salim ke bang Sabiq, takut terlambat.
Mungkin acara baru saja dimulai saat aku datang. Aku masih bisa mendengar sayup-sayup mc yang baru saja membuka acara dengan ucapan salam. Aku segera melihat sekeliling yang sudah ramai dipenuhi para wanita berjilbab lebar-lebar, jilbaber sebutannya.
Akhirnya kami memasuki ke acara inti. Terus terang, baru kuketahui bahwa acara halaqah nyaris mirip dengan acara diskusi yang biasa aku lakukan di kampus. Bedanya hanya pada adanya murabbi atau pembimbing di dalam sebuah halaqah. Mungkin kegiatan seperti ini bisa aku teruskan, toh tidak ada salahnya menambah ilmu.
Tidak terasa sudah sebulan aku mengikuti kegiatan halaqah ini. Lama-kelamaan aku mulai malu mengenakan jilbab yang sangat standar dibandingkan teman-teman yang lain di halaqah. Aku mulai mencoba mengenakan jilbab yang agak lebar. Namun rasa malu terhadap pandangan teman-teman atas perubahanku ini masih aku rasakan.
Hingga di suatu pagi selepas shalat subuh berjamaah ada seorang perempuan sekelasku mengajak ngobrol, Indah namanya. Awalnya kami mengobrol biasa saja hingga aku melepas mukenaku dan dia agak sedikit terperangah juga melihat jilbabku yang lebar itu. Tanpa memikirkan perasaanku dia berkata
“Ih Rin, kamu kenapa sih, ko berubah seperti ini?”
Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan sekaligus kaget. Belum sempat aku menjawab, ia sudah meneruskan rentetan kata-kata lagi. Ini yang paling menyakitkan.
“Kalau seperti ini, sama saja kamu tuh menjiplak si Nabila, tahu enggak!”
“Ya bukan seperti itu niatnya, aku cuma ingin menjadi lebih baik saja. Toh aku mengetahui bahwa seharusnya wanita itu lebih menjaga…”
“Ya tapi enggak nyaris mirip seperti Nabila juga kan? Kamu tuh jadi seperti ngikutin Nabila tahu enggak!”
Mungkin seketika aku ingin berkata seharusnya dia menyaring kata-katanya sebelum berkata demikian. Percakapan itu masih berlanjut.
“Bukan seperti itu niatku… aku seharusnya memulai ini dari dulu… memangnya kamu tidak suka dengan perubahanku ini?”
Pertanyaanku agak sedih. Ternyata teman dekatku yang aku pikir akan mendukungku justru menjadi cobaan buatku.
“Iyalah, masa Farin yang dulu aku kenal, jadi plagiat seperti ini sih?”
Dia masih menunjukkan rasa yang amat tidak suka. Aku hanya tertunduk sambil membalas kata-katanya.
“Kenapa seperti itu ndah? Aku pikir kamu akan mendukung perbaikanku ini, ternyata malah sebaliknya. Kalau kamu berpikir demikian, ternyata aku harus lebih dulu berdakwah untuk temanku, yaitu kamu. Bukan untuk orang lain dulu.”
“Ya sudah, yang pasti kamu itu menjiplak si Nabila. Aku enggak suka dengan plagiat!”
Indah pergi meninggalkanku. Ia tidak peduli padaku yang sudah sendiri di dalam masjid kampus. Hatiku panas, sakit sekali rasanya. Ternyata memang susah untuk mempertahankan perubahan yang baik ini. Yang aku sayangkan adalah cobaan itu datang kepadaku melalui teman dekatku. Mengapa harus dia yang mengatakannya ya Allah…
Minggu pagi itu Indah meninggalkanku. Biasanya kami selalu jalan-jalan pagi selepas shalat subuh setiap minggu. Kebetulan kami satu organisasi dan sering menginap di kampus untuk mengejar deadline tugas. Namun tidak pagi ini. Aku tak dapat menahan air mataku karena menahan marah dan juga kecewa terhadap kata-kata indah.
“Ya Allah, kenapa justru cobaan itu datang dari temanku sendiri….?”
Aku terus berdoa dan memohon untuk tetap selalu istiqamah dalam dakwah ini.
Di suatu siang, aku sedang berdiskusi dengan Nabila.
“Nabila, aku ingin menanyakan satu pertanyaan kepadamu, boleh?” tanyaku agak segan bertanya kepadanya.
“Boleh, ingin bertanya tentang apa?”
“Tentang keistiqamahan kamu… kamu pernah tidak mengalami kesulitan saat kamu mengenakan jilbab yang sangat lebar itu? Maksudnya, pernah tidak ada orang yang tidak suka dengan penampilanmu yang seperti ini? Dan satu lagi, mengapa kamu sampai bisa beristiqamah hingga detik ini?”
Nabila tersenyum dan mengambil napas beberapa detik.
“Pernah… dulu, sewaktu aku SMA, ada guru olahraga yang terlihat sangat tidak suka terhadap apa yang aku pakai saat pelajaran olahraga. Aku memakai kaos lagi di dalam baju olahragaku yang pendek itu. Niatku Cuma satu, yaitu menutupi bagian tubuhku yang tidak tertutupi oleh baju olahraga. Namun sepertinya guru itu tidak suka. Mungkin baginya aku telah berbuat tidak sopan terhadap mata pelajarannya. Guru itu selalu tidak pernah menganggapku ada setiap kali pelajarannya. Hingga aku pun bertanya kepada ummiku, bagaimana caranya menanggapi seseorang yang tidak suka terhadap kita… ummi mengatakan bahwa kita harus tetap tersenyum kepada siapapun, entah orang itu menyukai ataupun membenci kita. Jangan pernah membenci orang lain… Minggu demi minggu aku selalu menanggapi setiap tanggapan orang lain dengan tersenyum, hingga akhirnya guru itupun menjadi ramah terhadapku. Mungkin ia berpikir, bukan suatu kesalahan bahwa anak didiknya ada yang ingin lebih menjaga sesuatu yang dimilikinya…”
“Subhanallah… lalu, mengapa kamu bisa sampai istiqamah sampai detik ini?”
“Niatanku hanya satu, yaitu Allah Ta’ala…”
“Maksudnya?” aku tak mengerti.
“Niatku untuk tetap istiqamah adalah aku ingin menjadi muslimah sejati yang hanya mencintai Allah. Aku ingin menjadi muslimah terbaik di hadapan Allah. Hanya itu….”
“Subhanallah,”
Hanya kalimat itu yang menghiasi lisanku. Aku baru sekali ini menemui seorang perempuan yang memiliki niat tulus yang sangat suci. Perjuangan selanjutnya adalah keistiqamahanku dalam menghadapi berbagai ujian yang akan Allah berikan padaku. Aku juga ingin menjadi muslimah terbaik untuk Allah. Karena bagiku, ini adalah jalan untuk meniti rasa cinta kepada Allah. Aku yakin, barang siapa memudahkan urusan Allah, maka Allah pun akan mempermudah urusannya. Wallahu’alam.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar